Sudah berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, aku mengisi waktu istirahatku di sekolah dengan pergi ke perpustakaan. Tidak ada tempat yang menarik bagiku selain perpustakaan. Bukan karena perpustakaan di sekolah ini adem, atau ber-AC, atau kenapa. Tapi karena aku senang membaca buku, itu sudah jelas kan?
Buku-buku di perpustakaan ini semuanya menarik, bagiku. Tidak hanya ada buku-buku kuno dengan kertas menguning yang sama sekali tidak menarik seorang murid untuk membaca, tapi juga buku-buku yang bertema ringan seperti novel atau komik. Hampir semua jenis buku ada di sini. Untungnya aku bukan pembaca yang suka pilih-pilih buku berdasarkan jenisnya. Semua jenis buku aku suka. Maka, setiap hari aku bisa membaca buku-buku yang berbeda tanpa harus membanding-bandingkan antara yang satu dengan yang lainnya.
Tapi aku juga tidak mau berpura-pura. Nyatanya, perpustakaan ini memang sangat nyaman. Meskipun tampak seperti bangunan tua, namun.. ah, peduli apa sih kalau dirimu sendiri sedang asyik membaca? Dan, perpustakaan ini seperti menyimpan sebuah rahasia. Entah rahasia apa, aku hanya bisa merasakannya—tidak perlu dibahas, karena aku sendiri agak tidak yakin. Dan lagi, perpustakaan ini bisa menjadi tempatku bersembunyi. Tempat duduknya tidak berhadap-hadapan, justru saling membelakangi. Di antara tempat duduk itu ada pembatas besar sehingga pengunjung satu tidak bisa mengganggu pengunjung yang berada di sebelahnya. Aman, kau bisa membaca buku apapun tanpa harus merasa terganggu dengan ulah tetanggamu. Dan… di situlah biasanya aku bersembunyi.
Bersembunyi bukan karena aku ingin lari dari tugas-tugas sekolah. Bukan. Tapi karena aku merasa tidak ada ruang bagiku untuk berpijak dan berekspresi. Di luar, aku hampir tidak memiliki teman, karena duniaku berbeda dengan dunia mereka. Duniaku adalah dunia perpustakaan, penuh berbagai jenis buku. Dunia mereka adalah dunia remaja yang dianggap indah oleh sebagian orang. Aku sendiri, di sini. Meskipun ada beberapa orang, namun hanya aku sendiri dan tumpukan-tumpukan buku. Ini zona nyamanku. Aku senang berada di sini.
Buku yang kupilih hari ini adalah buku novel yang berjudul ‘Maya’, oleh Ariani Seraphina. Sebenarnya aku tidak terlalu suka membaca novel, tapi novel ini cukup membawa pikiranku melayang jauh bersama kata demi kata dalam novel ini. Ceritanya mengalir dan tidak bertele-tele, aku seperti ikut merasakan apa yang dirasakan oleh para tokoh. Maya, tokoh utamanya. Dia seorang perempuan muda yang terjebak di dalam kehidupannya yang rumit; Drop out, kesepian, aneh, perceraian orang tua, dan anti sosial. Maya berusaha tidak terlalu peduli, dia menutupi keadaan dengan menyibukkan diri di perpustakaan. Dia senang membaca buku. Semua jenis buku. Coba tebak, apa yang membuatku tertarik dengan novel ini? Ya, Maya. Seseorang yang nyaris kehilangan dirinya sendiri. Seseorang yang sangat mirip denganku.
**
Hari berikutnya, aku kembali duduk di perpustakaan. Kali ini agak ramai, beberapa murid kelas XII sibuk mencari-cari buku apapun yang sedang mereka inginkan. Mungkin mereka sedang ditugaskan oleh salah satu guru mereka untuk mencari materi tambahan tentang psikologi, karena kulihat salah satu dari mereka sedang menenteng-nenteng buku yang bertuliskan Down Syndrome: Neurobehavioural Specificity pada cover depannya. Damar—orang itu. Damar Rendiansyah—jika dilihat dari badge nama di seragamnya. Aku sudah hafal orang itu. Dia satu-satunya cowok di sekolah ini yang rela menelan gengsinya bulat-bulat hanya untuk datang ke perpustakaan demi bisa mengisi waktu luangnya dengan membaca buku. Hampir semua temannya memilih melakukan kegiatan lain, namun dia sendirian datang ke tempat ini tanpa ada rasa canggung. Buku favoritnya juga sudah kuhafal, kalau bukan buku-buku tentang psikologi, pasti tentang ensiklopedia manusia dan alam. Bukan jenis buku yang ringan. Dia sudah jelas murid pintar. Oke. Aku memang sok tahu, tapi aku tidak berusaha untuk tahu lebih lanjut tentang dia. Dan bukan berarti aku naksir dia. Tidak. Aku hanya senang memerhatikan tingkah seseorang yang tampak berbeda dengan orang-orang yang lainnya. Dia berbeda, ya. Tapi aku tidak terlalu peduli.
Mataku kembali tertuju pada buku yang sudah ada dalam genggamanku. Aku kembali melanjutkan novel yang kemarin belum sempat kubaca sampai habis. Tapi sebelum aku membuka bukunya, aku mendengar suara gaduh dari kursi seberang. Aku menoleh ke arah sana, lalu memutar bola mata saat melihat tiga orang teman sekelas Damar sedang melempar-lempar gumpalan kertas ke arahku. Sumpah, tingkah mereka kekanak-kanakan. Aku semakin kesal saat mereka menertawakanku. Semakin aku kesal maka mereka akan semakin senang. Jadi, aku berupaya untuk tidak peduli.
“Woy, ini perpustakaan! Jangan bikin keributan!” seru seseorang.
Aku langsung menyadari itu suara Damar.
“Yaelah, nyantai aja dong, boy.. cewek ini aja nggak marah, kenapa lo yang marah?” ucap salah satu biang ribut itu.
“Bukannya gitu, suara ketawa lo bertiga tuh bikin kuping orang pengang!” balas Damar dengan ekspresi kesal.
Sudah kujelaskan tadi, semakin bisa membuat orang kesal, maka mereka akan semakin senang. Jadi, bukannya diam, tawa mereka malah semakin meledak. Candaan mereka juga semakin parah, mereka menggebuk-gebuk rak bernada tidak beraturan, saling memukul dengan menggunakan buku, sampai dorong-dorongan. Meskipun posisiku memunggungi mereka, tapi aku tahu apa yang sedang mereka lakukan, karena pada akhirnya, salah satu dari mereka mendorong yang lainnya sangat keras hingga membuatku terdorong ke depan sampai kepalaku membentur rak. Beberapa buku berjatuhan, dan aku meringis kesakitan. Mereka langsung pergi sebelum aku benar-benar marah. Lalu, sambil masih merasa kesal, aku membereskan buku-buku yang berserakan di lantai. Saat aku meletakan beberapa buku, aku menemukan secarik kertas yang bertuliskan, “Selamat membaca novelnya, Rianti…” Aku terkejut. Rianti? Itu namaku! Lalu, karena penasaran, aku membalik kertas itu dan membaca tulisan selanjutnya, “Tertanda, Maya.”
Ya Tuhan, ini apa? Novel? Maya? Aku menerka-nerka. Sampai kemudian aku tersadar, novel yang sedang yang kubaca ini! Novel berjudul ‘Maya’! Tapi mengapa kertas ini….
Ya Tuhan, ini apa? Novel? Maya? Aku menerka-nerka. Sampai kemudian aku tersadar, novel yang sedang yang kubaca ini! Novel berjudul ‘Maya’! Tapi mengapa kertas ini….
Karena aku merasa takut, aku segera berlari keluar perpustakaan tanpa berkata apa-apa lagi.
**
Hari berikutnya, aku kembali duduk di perpustakaan ini. Memang perlu waktu untuk mengumpulkan keberanian, dan aku yakin kali ini tidak akan terjadi apa-apa.
Aku melanjutkan membaca novel ini, berharap kali ini tidak gangguan horror seperti kemarin lagi. Namun semakin aku membaca, pikiranku semakin kacau. Aku merasa seperti terjebak di dalam cerita ini. Aku bisa mengerti pemikiran Maya yang sama kacaunya dengan pikiranku kali ini. Karena merasa tidak ingin merasa lebih kacau lagi, aku meletakan buku itu dan mencoba mencari buku yang lain. Buku apa saja. Buku yang tidak aneh. Buku yang tidak memiliki tokoh yang pikirannya bisa kupahami. Bukan novel. Ya. Lalu, aku menyambar buku pembahasan materi ujian.
Begitu aku ingin kembali duduk, aku melihat seorang perempuan berpakaian kuno datang dari pintu utama, memilih-milih buku, kemudian memilih tempat di sebelahku.
Aku terus memerhatikannya sampai dia menoleh ke arahku, dan menampakkan senyumnya yang canggung. Karena aku juga merasa canggung, aku balas tersenyum padanya. Dia cantik, aku menyadarinya. Rambutnya pendek dan tersisir rapi. Tubuhnya kurus dan tidak terlalu tinggi. Senyumannya manis, dan dia tidak berhenti menatapku.
“Lagi baca buku apa?” kudengar dia bertanya.
Aku menunjukkan buku pembahasan materi ujian itu padanya.
“Oh,” dia mengangguk-angguk. “Gak lanjut baca novel ‘Maya’?”
Tubuhku tiba-tiba menegang. “Kamu siapa?”
Dia tersenyum tenang dan mengulurkan tangannya padaku. “Maya.”
Aku terpaku. Apa sih ini? Pikiranku semakin kacau. Mataku tidak berhenti menatap senyum itu. Maya. Maya. Maya. Maya siapa?
Seolah-olah bisa membaca pikiranku, dia berkata, “Maya. Tokoh dalam novel ‘Maya’ yang sempat kamu baca.”
Ini tidak masuk akal. Bagaimana bisa tokoh dalam novel muncul dan kini sedang duduk tepat di sebelahku. Benar kan? Ini tidak masuk akal.
“Jangan takut, Rianti. Jangan takut,” ujarnya santai. “Aku bukan tokoh yang jahat, kamu tahu kan? Kamu sudah membaca kisah hidupku, kan? Jadi jangan takut, Rianti. Kita bisa berteman. Kamu dan aku bisa berteman. Aku tahu banget kamu butuh teman mengobrol.”
Aku masih belum percaya. “Ini gak masuk akal, Maya. Kenapa?”
“Karena kamu membutuhkan seorang teman, Rianti.”
“Yang nulis di kertas itu… kamu juga?”
Dia mengangguk. “Kenapa? Tulisanku jelek ya?”
Aku heran. Melihat reaksiku, dia tertawa cukup keras.
Aku terpana.
**
Hari-hari berikutnya, Maya selalu datang dan dia selalu memilih duduk di sebelahku. Aku semakin dekat dengannya. Kami berbagi cerita mengenai hidup kami masing-masing, dan bertukar pendapat mengenai buku apa saja yang sudah pernah kami baca. Dia orang yang ceria, meskipun dia juga tidak benar-benar punya teman—sama sepertiku. Dia juga bilang bahwa dia menyukai perpustakaan ini. Kami punya ketertarikan yang sama. Kami berteman. Aku dan dia berteman!
Ternyata begini rasanya memiliki teman dekat. Aku senang. Aku bahagia. Aku punya teman! Tidak peduli betapa tidak masuk akalnya ini, yang penting aku senang.
**
Suatu hari, aku melihatnya datang dengan raut wajah sedih. Beberapa detik kemudian, aku melihatnya menangis. Aku mendekatinya dan bertanya, “Maya, ada apa?”
Ternyata begini rasanya memiliki teman dekat. Aku senang. Aku bahagia. Aku punya teman! Tidak peduli betapa tidak masuk akalnya ini, yang penting aku senang.
**
Suatu hari, aku melihatnya datang dengan raut wajah sedih. Beberapa detik kemudian, aku melihatnya menangis. Aku mendekatinya dan bertanya, “Maya, ada apa?”
Dia menangis histeris, aku menunggunya sampai dia berhenti menangis.
Ketika berhenti, dia mengusap air matanya dengan sapu tangan yang kuberikan. Lalu dia menatapku dengan matanya yang membengkak parah. “Kamu sudah membaca novelku sampai habis?”
Aku menggeleng. “Memangnya kenapa?”
Tatapannya kosong. “Aku akan mati, mungkin sebentar lagi.”
Mataku membelalak. “Jangan ngomong yang aneh-aneh.”
“Pada bab terakhir di novel itu, si penulis membunuhku!”
“Mem.. bunuh?”
“Ya! Pada akhir cerita, aku mati dengan tragis! Bunuh diri, Rianti! Padahal aku benci bunuh diri, kamu tahu itu kan?” dia menggoncang-goncangkan tubuhku dengan sikap marah. “Tapi si penulis menakdirkan aku bunuh diri! Kurang kejam apa dia? Aku benci padanya!”
Mulutku menganga dan aku tidak bisa berkata apa-apa. Dengan satu hentakan keras, tiba-tiba dia berusaha mencekik leherku.
“Aku benci padamu, Rianti Ariani Seraphina! Kamu merusak hidupku sejak awal dan kamu membunuhku di akhir cerita! Kamu kejam, Rianti! Kamu penulis yang kejam! Sekarang giliran aku yang membunuhmu!”
Dalam posisi begini, aku menjadi kesulitan bicara. Aku berusaha memberontak, tapi tidak bisa. Tanpa kusangka, seseorang datang dan berusaha menarik tubuhku dari Maya. Damar, orang itu.
**
Aku membuka mataku pelan-pelan dan mendapati diriku sedang berbaring di UKS. Seluruh tubuhku terasa sakit, dan aku masih ingat siapa yang membuatku sampai seperti ini. Maya. Dia memang pantas bunuh diri. Aku tidak peduli lagi padanya.
Dengan hati-hati, aku beranjak dari tempat tidur usang ini, untuk pergi keluar. Tapi sebelum benar-benar keluar, langkahku terhenti di depan jendela, begitu melihat Damar sedang berbicara dengan salah satu guru yang aku tidak ingat namanya.Aku berniat menyimak pembicaraan mereka.
“Mungkin… skizofrenia?” sahut guru itu.
“Menurut saya juga begitu, Bu. Rianti seperti tidak bisa membedakan antara khayalannya dengan realitas,” ucap Damar. “Semenjak saya perhatikan, dia memang selalu terlarut pada dunianya sendiri. Dunia fantasi yang dia ciptakan sendiri. Tingkahnya sudah mengganggu murid-murid yang sedang berada di perpustakaan…”
“Kamu sudah pernah mengajaknya mengobrol?”
“Sudah berkali-kali, namun dia ketakutan dan selalu menghindar begitu saya datang.”
Karena aku merasa tidak tahan, aku mendobrak pintu, melewati mereka berdua dan berlari sekencang-kencangnya ke arah perpustakaan. Semua orang yang berada di tempat itu berlari berhamburan keluar begitu melihatku datang. Bagus, sekarang hanya aku sendiri. Aku menutup dan mengunci pintu perpustakaan rapat-rapat supaya mereka tidak menggangguku lagi. Aku ingin tinggal di sini sampai beberapa lama. Karena aku tidak akan mau keluar dari zona nyamanku ini.
Mungkin sampai nanti, sampai dendam Maya terbayar sepenuhnya.
cerpen ini dikutsertakan dalam lomba : www.uibookfest.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar