well, gue nemuin segelitik tulisan yang menarik. seperti menemukan secerah refleksi pemikiran yang sama di dalam benak orang lain. nih sumbernya "elegisenja"
begitu kuat ya pemikiran seorang dewi lestari yang tumbuh berakar dan kuat di benak-benak manusia lain untuk memandang dunia ini secara berbeda dan utuh.
Sungguh begitu naif apa yang dilakukan anak cucu Adam, termasuk saya tentunya. Beberapa hal yang sebetulnya saya sendiri masih mencari tahu dan mempertanyakan hal tersebut kapada diri saya.
“Tahu apa kamu tentang hidup?
Tahu apa kamu tentang perasaan?
Tahu apa kamu tentang dirimu sendiri?”
merasa sedikit tersentil oleh satu scene dalam film yang menemani sore hari saya yang dipayungi cendawan kelam. Ya, RectoVerso, dimana dalam beberapa dialog sangat kental terasa diksi-diksi tingkat tinggi ala sang penulis; Dewi Lestari, salah satu penulis yang cukup menginspirasi saya. “..saya merasa bodoh karena terus-terusan mengkhianati diri saya..” kuranglebih seperti itulah kutipan yang merogoh relung hati saya yang seolah lama telah saya ‘butakan’ dengan satu atau beberapa alasan yang tak berdasar.
Manusia seringkali melupakan apa yang sebetulnya ia saksikan, ia dengarkan, dan ia rasakan. Seolah menafikan seluruh realita yang ada dan memilih untuk bertahan sebagai seorang masokhis dalam cerita yang coba ia rangkai. Membiaskan semua kodrat yang Tuhan berikan melalui panca indera mereka. Begitulah ironi yang terjadi.
Terus mengatakan isi hati? Apakah cukup hanya sebatas itu? Cobalah dengarkan isi hatimu jangan hanya sebatas mengatakan tanpa kamu mengerti apa yang sesungguhnya kamu rasa. Orang bilang kamu ini, orang bilang kamu itu. Lalu apa yang harus kamu lakukan? Mendengarkan celoteh mereka tentang ikan yang seharusnya hidup di daratan? Lalu apakah ikan harus belajar berjalan diatas panasnya aspal atau keringnya udara? Saya rasa ikan haruslah tetap di air, dimana Tuhan memberinya oksigen untuk tetap bernapas. Begitu juga kamu, biarlah mereka berceloteh, dengarkan dan resapi. Maknai setiap kata yang bermakna dan abaikan semua yang tak berarti. Ingat “ikan ya hidup di air, bukan di darat” kamu tak perlu berusaha untuk hidup dilautan dimana Tuhan memberi daratan bumi ini untuk kamu tinggal.
Cendawan kelam yang memayungi saya kala tengah menghabiskan film itu, perlahan berubah menjadi butiran air. Ya, hujan kian lebat sore tadi. Janji ya tinggal sebatas janji, rencana hanyalah rencana. Tuhan lah yang menentukan segala yang Ia kehendaki untuk terjadi. “Seratus sempurna. Kamu satu, lebih sempurna.” Kutipan mengaharukan nan menggelitik hati saya. Dan sontak terlintas sebuah kutipan dalam buku Filosofi Kopi yang juga ditulis oleh Dewi Letari. “Bila engkau ingin satu, maka jangan ambil dua. Karena satu menggenapkan, tapi dua melenyapkan.” Sore ini mewakilkan suasana diluar jendela kereta disaat saya menyampaikan kutipan tersebut kepada kamu. Namun, langit hujan tak sekelam kini. Saya hanya tersenyum kecil mengingat senja itu.
Mentari kembali ke peraduannya, berharap purnama masih jelas terlihat. Ah, mana mungkin, kemarin saja ia mulai cemberut. Sekelibat pikiran tentang purnama, padamlah listrik, ditambah guyuran hujan yang semakin liar. Kembali terlintas di dalam pikiran saya, apakah ini bahasa alam sebagai sebuah pertanda? Ataukah saya hanya terbawa terlalu jauh kedalam film yang melankolis barusan? Entahlah. Saya mencoba membiaskan semua pikiran yang bertumpah-ruah dalam saat bersamaan.
Diatas bangku kayu yang cukup reot, menanti awan menghentikan tangisannya. Yah, sangat menyedihkan. Seolah alam tak mengerti akan janji yang sudah kami buat. Namun sekejap pemikiran itu saya enyahkan sediri, apakah alam tidak mengijinkan kami? Ataukah alam memberi isyarat?
Tuhan memberikan jawaban atas doa, melalu banyak cara, isyarat alam, mimpi, atau bahkan bahasa hati yang hinggga kini saya pun sulit untuk memahaminya. Namun semua itu hanya mampu diresapi apabila kita berpikir. Bahwa Tuhan tidak akan membiarkan makhluknya sendiri. Tuhan memiliki caranya sendiri untuk memberi pertanda kepada kita yang mampu meresapi. Maka resapilah, hingga kamu menemukan makna. Karena daun tiada pernah menyalahkan angin yang membuatnya gugur, namun ia bertermakasih kepada angin karena angin akan mengantarnya ke tempat dimana seharusnya ia berada. Maka, terimalah.
begitu kuat ya pemikiran seorang dewi lestari yang tumbuh berakar dan kuat di benak-benak manusia lain untuk memandang dunia ini secara berbeda dan utuh.
Sungguh begitu naif apa yang dilakukan anak cucu Adam, termasuk saya tentunya. Beberapa hal yang sebetulnya saya sendiri masih mencari tahu dan mempertanyakan hal tersebut kapada diri saya.
“Tahu apa kamu tentang hidup?
Tahu apa kamu tentang perasaan?
Tahu apa kamu tentang dirimu sendiri?”
merasa sedikit tersentil oleh satu scene dalam film yang menemani sore hari saya yang dipayungi cendawan kelam. Ya, RectoVerso, dimana dalam beberapa dialog sangat kental terasa diksi-diksi tingkat tinggi ala sang penulis; Dewi Lestari, salah satu penulis yang cukup menginspirasi saya. “..saya merasa bodoh karena terus-terusan mengkhianati diri saya..” kuranglebih seperti itulah kutipan yang merogoh relung hati saya yang seolah lama telah saya ‘butakan’ dengan satu atau beberapa alasan yang tak berdasar.
Manusia seringkali melupakan apa yang sebetulnya ia saksikan, ia dengarkan, dan ia rasakan. Seolah menafikan seluruh realita yang ada dan memilih untuk bertahan sebagai seorang masokhis dalam cerita yang coba ia rangkai. Membiaskan semua kodrat yang Tuhan berikan melalui panca indera mereka. Begitulah ironi yang terjadi.
Terus mengatakan isi hati? Apakah cukup hanya sebatas itu? Cobalah dengarkan isi hatimu jangan hanya sebatas mengatakan tanpa kamu mengerti apa yang sesungguhnya kamu rasa. Orang bilang kamu ini, orang bilang kamu itu. Lalu apa yang harus kamu lakukan? Mendengarkan celoteh mereka tentang ikan yang seharusnya hidup di daratan? Lalu apakah ikan harus belajar berjalan diatas panasnya aspal atau keringnya udara? Saya rasa ikan haruslah tetap di air, dimana Tuhan memberinya oksigen untuk tetap bernapas. Begitu juga kamu, biarlah mereka berceloteh, dengarkan dan resapi. Maknai setiap kata yang bermakna dan abaikan semua yang tak berarti. Ingat “ikan ya hidup di air, bukan di darat” kamu tak perlu berusaha untuk hidup dilautan dimana Tuhan memberi daratan bumi ini untuk kamu tinggal.
Cendawan kelam yang memayungi saya kala tengah menghabiskan film itu, perlahan berubah menjadi butiran air. Ya, hujan kian lebat sore tadi. Janji ya tinggal sebatas janji, rencana hanyalah rencana. Tuhan lah yang menentukan segala yang Ia kehendaki untuk terjadi. “Seratus sempurna. Kamu satu, lebih sempurna.” Kutipan mengaharukan nan menggelitik hati saya. Dan sontak terlintas sebuah kutipan dalam buku Filosofi Kopi yang juga ditulis oleh Dewi Letari. “Bila engkau ingin satu, maka jangan ambil dua. Karena satu menggenapkan, tapi dua melenyapkan.” Sore ini mewakilkan suasana diluar jendela kereta disaat saya menyampaikan kutipan tersebut kepada kamu. Namun, langit hujan tak sekelam kini. Saya hanya tersenyum kecil mengingat senja itu.
Mentari kembali ke peraduannya, berharap purnama masih jelas terlihat. Ah, mana mungkin, kemarin saja ia mulai cemberut. Sekelibat pikiran tentang purnama, padamlah listrik, ditambah guyuran hujan yang semakin liar. Kembali terlintas di dalam pikiran saya, apakah ini bahasa alam sebagai sebuah pertanda? Ataukah saya hanya terbawa terlalu jauh kedalam film yang melankolis barusan? Entahlah. Saya mencoba membiaskan semua pikiran yang bertumpah-ruah dalam saat bersamaan.
Diatas bangku kayu yang cukup reot, menanti awan menghentikan tangisannya. Yah, sangat menyedihkan. Seolah alam tak mengerti akan janji yang sudah kami buat. Namun sekejap pemikiran itu saya enyahkan sediri, apakah alam tidak mengijinkan kami? Ataukah alam memberi isyarat?
Tuhan memberikan jawaban atas doa, melalu banyak cara, isyarat alam, mimpi, atau bahkan bahasa hati yang hinggga kini saya pun sulit untuk memahaminya. Namun semua itu hanya mampu diresapi apabila kita berpikir. Bahwa Tuhan tidak akan membiarkan makhluknya sendiri. Tuhan memiliki caranya sendiri untuk memberi pertanda kepada kita yang mampu meresapi. Maka resapilah, hingga kamu menemukan makna. Karena daun tiada pernah menyalahkan angin yang membuatnya gugur, namun ia bertermakasih kepada angin karena angin akan mengantarnya ke tempat dimana seharusnya ia berada. Maka, terimalah.